Kepulauan Maluku yang terkenal kaya dengan hasil bumi yang melimpah membuat wilayah ini sejak zaman antik dikenal dan dikunjungi para pedagang seantero dunia. Karena status itu pula Islam lebih dulu mampir ke Maluku sebelum datang ke Makassar dan kepulauan-kepulauan lainnya. Kerajaan Ternate adalah kerajaan terbesar di kepulauan ini. Islam masuk ke wilayah ini sejak tahun 1440. Sehingga, saat Portugis mengunjungi Ternate pada tahun 1512, raja ternate adalah seorang Muslim, yakni Bayang Ullah. Kerajaan lain yang juga menjadi representasi Islam di kepulauan ini adalah Kerajaan Tidore yang wilayah teritorialnya cukup luas meliputi sebagian wilayah Halmahera, pesisir Barat kepulauan Papua dan sebagian kepulauan Seram. Ada juga Kerajaan Bacan. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Di tahun yang sama berdiri pula Kerajaan Jailolo yang juga dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam dalam pemerintahannya.
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Masuknya Islam ke Maluku maka banyak rakyat Maluku yang memeluk agama Islam terutama penduduk yang tinggal di tepi pantai, sedangkan di daerah pedalaman masih banyak yang menganut Animisme dan Dinamisme.
Dengan kehadiran Portugis di Maluku, menyebabkan agama Katholik juga tersebar di Maluku. Dengan demikian rakyat Maluku memiliki keanekaragaman agama. Perbedaan agama tersebut dimanfaatkan oleh Portugis untuk memancing pertentangan antara pemeluk agama. Dan apabila pertentangan sudah terjadi maka pertentangan tersebut diperuncing oleh campur tangan orang-orang Portugis. Dalam bidang kebudayaan yang merupakan peninggalan kerajaan Ternate dan Tidore terlihat dari seni bangunan berupa bangunan Masjid dan Istana Raja dan lain-lain.
• Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih).
a. Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya)
Adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.
b. Kesultanan Tidore
Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugis. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling independen di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
c. Kesultanan Bacan
Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan.
d. Kerajaan Tanah Hitu
Kerajaan Tanah Hitu adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon, Maluku. Kerajaan ini memiliki masa kejayaan antara 1470-1682 dengan raja pertama yang bergelar Upu Latu Sitania (raja tanya) karena Kerajaan ini didirikan oleh Empat Perdana yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Kerajaan Tanah Hitu pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran yang sangat penting di Maluku, disamping melahirkan intelektual dan para pahlawan pada zamannya. Beberapa di antara mereka misalnya adalah Imam Ridjali, Talukabessy, Kakiali dan lainnya yang tidak tertulis di dalam Sejarah Maluku sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan ini berdiri sebelum kedatangan imprialisme barat ke wilayah Nusantara.
e. Awal Mula Kedatangan
Kedatangan Empat Perdana merupakan awal datangnya manusia di Tanah Hitu sebagai penduduk asli Pulau Ambon. Empat Perdana Hitu juga merupakan bagian dari penyiar Islam di Maluku. Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang di tulis oleh penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam berbagai versi seperti Imam Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius dan Valentijn.
• ABAD KE-13
Penduduk lokal Kampung Wawane, Provinsi Maluku, merupakan penganut animisme. Lalu seabad kemudian, hal tersebut mulai berubah seiring dengan kedatangan pedagang Jawa ke provinsi ini. Pedagang-pedagang Jawa ini tidak hanya berdagang, namun juga menyebarkan ajaran Islam. Mereka mencoba mengenalkan Islam kepada masyarakat lokal di Maluku, dan kepercayaan animisme sedikit demi sedikit mulai memudar di Kampung ini.
• Masjid Tertua di Indonesia Ada di Maluku
• Perkembangan Islam di Maluku selanjutnya ditandai dengan dibangunnya Masjid Wapaue pada 1414. Masjid ini terletak di kampung Wawane, dan menurut sejarah setempat mesjid ini dibangun saudagar-saudagar kaya yang bernama Perdana Jamillu dan Alahulu. Masjid ini dinamakan Masjid Wapaue karena terletak di bawah pohon mangga. Dalam bahasa setempat, "wapa" berarti "bawah" dan "uwe" berarti mangga. Keseluruhan bangunan masjid ini terbuat dari kayu sagu yang dilekatkan satu sama lain tanpa menggunakan paku. Pada 1614, masjid ini disarankan untuk dipindahkan lokasinya ke Kampung Tehalla, 6 kilometer dari sebelah timur Kampung Wawane. Relokasi ini dipimpin Imam Rajali, seorang kyai bersama para pengikutnya yang disebut Kelompok Dua Belas Tukang. namun, 50 tahun kemudian atau pada 1664, mesjid ini secara ajaib telah berpindah ke Kaitetu, dan tidak ada seorangpun yang memindahkannya. Para penduduk setempat percaya hal ini merupakan suatu mukjizat atau keajaiban. Hingga kini, Masjid Wapaue ini masih terawat dengan baik. tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah umat muslim, tapi juga sebagai galeri museum yang berisi koleksi-koleksi antik peninggalan kebudayaan muslim maluku kuno antara lain Bedug yang berumur seratus tahun, Al-Quran antik yang ditulis tangan, sebuah kaligrafi tulisan arab yang ditaruh di sebuah lempengan metal dan sebuah timbangan kayu yang digunakan untuk menimbang zakat. Mesjid tua Wapauwe ini terletak dekat dengan Benteng Amsterdam di desa Kaitetu, Kabupaten Hila, Provinsi Maluku. Untuk mengunjungi mesjid ini dibutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan menggunakan bis umum dari Ibukota Maluku, kota Ambon.
Sejarah islam barangkali belum pernah mencatat tentang masuknya Islam di Maluku (Al Mamlakatul Mulukiyyah) dengan pelaku sejarahnya “Imam Ja’far Ash Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainul Abidin, bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib pada kira-kira 125 H atau 744 M.
Sejarah perjuangan Imam Ja’far Ash Shadiq lebih banyak dikenal di Medinah dan Irak sekitarnya dalam usaha mengembalikan citra Islam yang telah dikaburkan oleh orang-orang Arab sendiri. Sedangkan hijrahnya ke Al Ghafilin (Gapi) sampai terbentuknya pemerintahan “Al Mamlakatul Mulukiyyah” jelas tidak akan diketahui orang sebab perjalannya melalui “Mi’raj” yang dimulai dari “GUA TSUR” kemudian diperjalankan dan Allah SWT memberkahi sekelilingnya tanda-tanda kekuasaan-Nya yang selanjutnya menjadi dasar perjuangannya dan berakhir di Al Ghafilin (GAPI), tepatnya di FORAMADIAHI pada awal “FAJAR” sekaligus melaksanakan Shalat Shubuh (bandingkan Namanya, Shalatnya dan waktu subuhnya) adalah “Totalitas” yang bukan lain daripadanya. Satu kemungkinan yang barangkali dapat diterima akal manusia ialah selama masa persembunyian beliau yang jelas tidak diketahui orang, kecuali Allah SWT karena “kodrat dan Iradat-Nya” untuk mengembangkan Islam dan Risalahnya di Timur Jauh yang dimulainya di Al Ghafilin (GAPI). Kemungkinan yang lain ialah bahwa Imam Ja’far sendiri tentu tidak akan memberitahukan persembunyiannya dan maksud hatinya sendiri, kecuali kalau para ilmuan dan ahli-ahli sejarah Islam kembali mengkaji dan mengartikan maksud dari sebuah “Hadits” Nabi SAW. Yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut : “ Akan datang suatu zaman (Sya’ti zamani) Dia (Ja’far Ash Shadiq) dari keturunanku dikemudian hari melalui anakku (Putriku) Fatimatuz Zuhriyyah, akan membuat perubahan yang besar di Timur, (sambil jari telunjuk Nabi SAW menunjuk ke arah Timur)”.
Hubungkan hadits ini dengan isyarat wahyu Allah SWT kepada Nabi ketika bersama sahabat “ABU BAKAR RA” di Gua Tsur tempo dulu. Siapa saja, boleh tidak menerima sepanjang dapat memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen yang tepat dan dapat diterima akal yang sehat dan jangan karena didorong oleh nafsu atau karena sesuatu kepentingan.
Al Ghafilin dan Gapi versi Ternate, barangkali merupakan bukti kebenaran itu, karena selain mempunyai arti yang sama yaitu “yang dilupakan” juga ucapannya yang hampir bersamaan. Begitu pula kalau kita melirik bukti yang lain seperti yang terdapat dalam bagian awal dari Firman Allah SWT berikut ini : “Tubaddilul Ajasadu” dan kata “FORAMADIAHI” yang juga mengandung arti yang sama yaitu “Tergantu atau tersalin”. Sebuah ungkapan dalam bahasa tradisional Ternate yang diciptakan oleh Imam Ja’far Ash Shadiq sekaligus membenarkan pengetahuan Ushuluddin dengan Empat Maqam Tauhid, ialah berbunyi sebagai berikut :
“ NAKO KOKO TOMA SIFAT GE TOMA ZAT MA GONAGA”
Artinya ; Apabila berdiri “sifat” itu kepada “zat”.
Selanjutnya maka : - Kodrat Menjadi Kadirun
- Iradat menjadi Maridun
- Ilmu menjadi Aliimun
- Hayat menjadi Hayyun
- Syama’a menjadi Syamii’un
- Basyaar menjadi Basyiirun
- Kalam menjadi Mutakallimun
Sifat “MA-ANI” yang dikarenakan oleh sifat “MAANAWIYAH” yaitu sifat yang melajimi sifat Maanawiyah menjadi nama zat itu, karena kaya akan zat Allah sehingga berlajim-lajiman, sebagaimana besi disepuh api dimanakah besi dan dimana pula api.jadi itulah besi dan itu pula api. Tiada perbedaan keduanya.
“ JAGA ELI LAHA-LAHA SENIRONGA MAANAWIA “
Artinya “ Ingatlah baik-baik, karena namamu Maanawia”
“ TO TUM NGOLO KADIM TO SIBALA RAHASIA ”
Artinya : Aku tenggelam/berenang dilaut Kadim, dan saya timbul didalam rahasia
Itulah tujuh laut yaitu : Laut Akal, alaut Pikir, laut Ilmu, laut Sabar, laut Tawakkal, laut Roh dan Hikmah, kemudian ia bersabda didalam rahasia-Nya (Kebaqaan Allah).
Firman Allah : Wa fi An Fusikum afala tubairun
Artinya :
Inilah beberapa bukti tentang kehadiran Imam Ja’far Ash Shadiq di Tanah GAPI (AL GHAFILIN), tegasnya di Al Mamlakatul Mulukiyyah atau Maluku sekarang ini. Ia diperjalankan dengan ilmu Allah SWT karena “kodrat dan iradat” dan ia memiliki kemampuan ilmu yang luar biasa baik dalam bentuk bahasa agama maupun dalam bentuk bahasa tradisional (Ternate) yang khas dan semua itu adalah firman dan hadits-hadits “qudai” yang disusun dalam bahasa tradisional Ternate oleh “Imam Asy Syarief Rafi’ah Tasyriiful Ja’far Ash Shadiq sebagai Lambang Kesultanan Al Mamlakatul Mulukiyyah”. Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan Agama Tauhid ini, namun hanya sebagai perkenalan dan sekedar membuktikan kehadiran beliau di Maluku Utara yang selanjutnya sebagai sumber “Embrio” atau “Sumber Keturunan” para Sultan turun-temurun yang telah memenuhi Bumi Persada Nusantara ini, bahkan sampai keluar negeri.
“ DARA TOLEFO MAPILA SORO GUDU TO NONAKO “
Artinya : Burung dara yang telah aku tuliskan pada sayapnya, sekalipun ia telah terbang jauh aku tetap mengenalnya
Kalimat tersebut mengandung dua sasaran pengertian yaitu :
Pertama : Bahwa Allah SWT perlu dan harus dikenal, karena awal agama itu mengenal akan Allah-Taala
Kedua : Bahwa keturunanku telah Aku beri tanda (ilmu dan hikmah sekalipun keturunan yang sudah jauh turun-temurun, tetapi Aku akan mengenal mereka
“ DARA NGORI RI PIARA, GE SORO YORI DAGO-DAGO “
Artinya : Burung dara yang Aku pelihara, sekalipun kemudian ia terbang, tetapi ia akan tetap dalam kecintaanku karena belahan jantungku.
Kalimat ini mengibaratkan bahwa Allah SWT tetap bersama aku sampai pada akhirnya Aku wafat kembali ke Rahmat Allah. DIA tetap bersama aku.
Dalam pengertiannya yang lain, bahwa keturunanku yang aku pelihara sejak kecil, sekalipun mereka sudah menurunkan keturunannya yang banyak dan terpencar-pencar ke negeri-negeri lain, namun mereka adalah kecintaanku, buah-buah hatiku dan bagian dari aku.
Kesimpulan
Berdarasrakan uraian dan penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa Walisongo banyak berperan dalam proses Islamisasi di Maluku, dan sekitarnya Gerakan dakwah yang kultural serta sikapnya yang mampu membaur dengan masyarakat dan mengakulturasikan antara budaya pribumi dengan ajaran dan Syariat Islam membuat kiprah dakwah mereka berhasil.Sebagian besar masyarakat pribumi saat itu masih menganut ajaran Hindu-Budha yang juga sebagai ajaran resmi dianut Kerajaan Majapahit.
Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang di tulis oleh penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam berbagai versi seperti Imam Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius dan Valentijn.
Peninggalan-peninggalan tersebut yang paling nyata adalah Mesjid tua Wapauwe ini terletak dekat dengan Benteng Amsterdam di desa Kaitetu, Kabupaten Hila, Provinsi Maluku. Untuk mengunjungi mesjid ini dibutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan menggunakan bis umum dari Ibukota Maluku, kota Ambon.